Ayat-Ayat Cinta: Antara
Karya Kata Dan Audio Visual - Novel Ayat-Ayat cinta karya Habiburrahman
El-Shirazy, atau yang akrab dengan sapaan kang Abik, merupakan salah satu karya
sastra paling fenomenal di tanah air. Kemunculan novel bernuansa Islami dengan
makna mendalam ini, seakan menjadi pelega para penikmat sastra, juga masyarakat
umum, yang haus akan sentuhan kisah yang rangkaian ceritanya bisa menjadi bahan
pelajaran berharga; yang isinya bukan semata-mata hanya untuk menghibur
pembaca, tetapi dapat memberikan kesan mendalam.
Meroketnya penjualan novel
Ayat-Ayat Cinta, akhirnya menarik minat para pekerja perfilman Indonesia, untuk
menampilkan ceritanya ke dalam bentuk Audio Visual (layar lebar). MD Pictures,
yang resmi mengangkat cerita ini menunjuk sutradara Hanung Bramantyo untuk
segera menggarap karya fenomenal ini.
Mengaplikasikan cerita
novel ke dalam film selalu mempunyai tantangan tersendiri. Terlebih jika novel
tersebut merupakan karya laris. Para pekerja film harus mampu menyuguhkan
tayangan apik, yang dapat memuaskan penonton. Paling tidak film tersebut bisa
memvisualkan dengan baik imajinasi yang ada di novel. Namun di satu sisi, tidak
mungkin sebuah film bisa merekam setiap adegan novel. Karena adanya
keterbatasan waktu. Hasilnya akan ada beberapa adegan novel yang harus
dilewatkan. Namun diusahakan tidak terlalu berpengaruh pada ceritanya, atau dengan kata
lain tetap sejalur dengan inti cerita novel. Sayangnya tak jarang penonton yang
kecewa atau menggerutu usai menonon filmnya. Karena mereka menganggap filmnya
tidak sebaik cerita di novel.
Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang
diadaptasi dari novel laris dengan judul sama pun, tak luput dari
komentar-komentar dan penilaian yang mencoba membandingkan keduanya. Dan kali
ini pun sebagai penikmat sastra, aku diminta tim RCO3 untuk menuliskan perbandingan antara novel Ayat-Ayat Cinta yang telah kubaca, dengan versi
filmnya yang telah kutonton. Walaupun sejatinya, hal ini agak sulit untuk membandingkan
antara karya cetak dengan karya visual. Karena keduanya dibuat dengan durasi
dan teknis yang berbeda. Sebuah novel mempunyai kebebasan bereksplorasi,
sedangkan film tidak.
Ada beberapa poin penting
yang berhadil kutemukan dari pengalaman membaca dan menonton AAC. Harus kuakui
novel AAC membuatku lebih mudah menyelami karakter dan terhanyut dalam setiap
ceritanya. Inilah romantisme kehidupan Islam yang indah, yang mampu memberikan
nilai-nilai positif tentang kesabaran, toleransi, keikhlasan, dan perjuangan. Novel ini
menekankan kisah tentang perjuangan Fahri bin Abdillah, seorang mahasiswa
Indonesia yang kuliah di Universitas Al-Azhar, dan juga kehidupan
percintaannya. Sedangkan versi film yang kutonton cenderung mengangkat isu
tentang kehidupan poligami. Selain itu juga ada beberapa adegan di novel yang
menurutku cukup signifikan, tetapi justru dihilangkan. Hal ini tentunya agak
sedikit mengganggu bagi mereka yang sudah kholas membaca novelnya.
Beberapa Ketidakcocokan
Antara Novel dan Film Ayat-Ayat Cinta
1. Di film tidak terdapat
adegan saat Fahri memberi hadiah kepada madame Nahed dan Yousef putranya
2. Di film tidak ada
adegan Fahri sakit karena terlalu sering terkena panas.
3. Di film Fahri langsung
menemui Nurul saat meminta menampung Noura. Sedang di novel Fahri menelponnya.
4. Di film Fahri menikah
dengan Aisyah di rumah mewah Aisyah. Sedangkan di novel mereka menikah di
masjid.
5. Maria koma setelah
kesaksian di pengadilan dan tidak sempat menjalani kehidupan poligami dengan Fahri. Tetapi di film Maria sempat menjalani kehidupan poligami.
Terlepas dari adanya
ketidaksesuaian, Ayat-Ayat Cinta, baik novel atau pun filmnya adalah dua karya
hebat yang telah berhasil mendulang sukses. Bahkan karya fenomenal ini berhasil
mendapat tempat di hati masyarakat negara lain, seperti Malaysia, Singapura,
Belanda, Jerman, dll.
Apa Yang Membuat Novel Dan
Film Ayat-Ayat Cinta Layak Mendapat Penghargaan?
Novel yang diterbitkan
oleh Penerbit Republika dengan tebal 418 halaman ini, merupakan novel terlaris
di Indonesia sejak cetakan pertama di tahun 2004. Karena hal ini pulalah yang
akhirnya memikat MD Pictures untuk membuat filmnya. Banyak yang terpukau dengan
cerita yang dirangkai kang Abik melalui kata-katanya dalam novel tersebut. Ada
banyak pelajaran kehidupan yang bisa diambil. Bahasa yang digunakan sederhana
namun mengandung arti sangat dalam. Novel ini juga terbukti turut mengubah pola
pikir orang terutama anak muda tentang Islam dan kehidupnnya. Tidak hanya itu,
novel ini juga menjadi tonggak awal bermunculannya novel bernuansa Islami
penggugah jiwa lainnya. Tak salah jika pada akhirnya novel ini banjir pujian
dan penghargaan terbaik bidang literasi.
Untuk fimnya sendiri,
Ayat-Ayat Cinta juga terbukti meraih sukses sejak penayangan perdananya. Bahkan
film ini diminati di beberapa negara lain. Bioskop-bioskop selalu sesak
penonton yang antri ingin menonton film AAC. Penonton pun tak hanya berasal dari
masyarakat umum saja, tetapi mereka para pesohor negeri pun tak ingin
melewatkan film bernapaskan Islami ini. Sebut saja diantaranya Bapak B.J Habibie
dan Bapak Din Syamsudin. Yang menakjubkan, film ini mampu menarik 1,7 juta
penonton dalam 3 minggu. Sama seperti novelnya, film ini juga menandakan
bangkitnya film-film baik bernuansa Islam serta pembuka jalan bagi perfilman
bertema religi lainnya.
Kesuksesan AAC yang
berhasil masuk box office, tentu saja layak untuk menganugerahi film ini dan semua
yang terlibat di dalamnya dengan penghargaan terbaik.
Pesan Yang Ingin
Disampaikan Penulis Lewat Novel Ayat-Ayat Cinta
1. Adab Terhadap Yang Bukan mahram
Dalam novel ini banyak disinggung tentang adab dan pergaulan dalam Islam. misalnya saja tentang bagaimana seorang muslim menghargai dan bergaul dengan seorang wanita. contohnya saja saat berkenalan dengan Alicia di Metro, Fahri menangkupkan kedua tangan di dada saat ingin membalas ajakan salaman Alicia, "Ini bukan berarti tidak
menghormati Anda. Dalam ajaran Islam, seorang lelaki tidak boleh bersalaman dan
bersentuhan dengan perempuan selain istri dan mahramnya.’’ (hal:55)
Kemudian ketika Fahri marah dengan teman-temannya karena dibiarkan berduaan dengan Maria di rumah sakit. "Saif,
kenapa kautinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku?
Dia bukan mahramku.’’ (hal:177)
2. Toleransi
Islam mengajarkan tentang toleransi tidak hanya kepada umat Muslim saja. Tetapi juga kepada mereka yang berbeda keyakinan dengan kita. Namun masih saja ada orang yang terlalu fanatik hingga menganggap bertoleransi hanya berlaku kepada sesama Muslim.
Di novel ini kang Abik berusaha menyampaikan tentang makna toleransi yang sesungguhnya, yang dapat kita lihat dalam satu adegan ketika Fahri dan Aisyah berdebat dengan seorang Arab saat hendak memberikan tempat duduk kepada Alicia (Amerika). Bagi penumpang Arab, Alicia adalah kafir yang tak patut dikasihani. Karena baginya semua kafir (Amerika) adalah musuh Islam, yang bertanggung jawab atas penderitaan Muslim di beberapa negara Muslim. Namun kemudian Fahri mengatakan,"Rosul berkata,"Barang siapa yang menyakiti orang asing, berarti menyakiti diriku, dan barang siapa yang menyakiti diriku, berarti menyakiti Allah."
3. Perjuangan, Kerja Keras, Keikhlasan
Makna tentang perjuangan, kerja keras, dan keikhlasan tampak digambarkan jelas oleh penulis melalui perjalanan hidup para tokoh utamanya.Di sini penulis ingin menunjukkan bahwa segala sesuatunya hanya bersandar pada Allah.
4. Sosok Sempurna
Fahri digambarkan sebagai seorang lelaki yang mendekati bahkan terlihat begitu sempurna. Mungkin ada yang berkomentar,"Mana ada sosok seperti itu sekarang." Well, justru inilah yang ingin coba diterobos penulis. Bahwa sosok sempurna seperti Fahri dalam kehidupan itu ada. Walau tidak ada yang bisa mengalahkan kesempurnaan sikap dan sifat Rosulullah SAW. Tetapi masih ada sosok-sosok teladan Muslim di dunia ini. Melalui Fahri penulis ingin mengajak pembaca untuk setidaknya menjadikan sosok karakter ini teladan baik, yang bisa menjadi contoh dalam menjadi seorang Muslim yang baik.
#TugasRCO3
#Tugas2Level3
#OneDayOnePost