Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah banyak memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia. Terutama teknologi di bidang informasi dan komunikasi. Semua informasi dan peristiwa apapun di belahan dunia ini dapat dengan cepat diketahui. Dan setiap orang pun dapat berkomunikasi dengan mudah, meskipun terpisah jarak ribuan kilometer. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan salah satu anugerah atas kecerdasan dan daya imajinasi manusia, yang luar biasa. Tetapi tak bisa disangkal juga bahwa dalam setiap inovasinya, teknologi turut membawa dampak negatif bagi kehidupan.
Salah satu wujud teknologi yang telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat, yakni ponsel. Kehadiran ponsel bak angin segar yang menjawab kerinduan orang-orang yang tinggal berjauhan. Namun bukan teknologi namanya jika tidak mengalami perkembangan. Awalnya ponsel hanya sebatas sarana yang mempermudah komunikasi. Tetapi seiring waktu, para pencipta teknologi ponsel pun mulai berkreasi dan berinovasi, untuk meningkatkan daya guna sebuah ponsel.
Sebagaimana yang kita ketahui, teknologi ponsel terus mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai kecanggihan dalam sebuah ponsel telah berhasil memikat banyak orang untuk menjadikannya sebuah kebutuhan. Bahkan ponsel kini telah menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Bagaimana tidak? Sebuah ponsel, terutama yang berbasis smartphone, dapat membantu berbagai urusan manusia dengan begitu mudahnya. Misalnya untuk urusan bisnis, belajar, komunikasi, membangun jaringan, atau hiburan.
Sayangnya, ternyata kehadiran teknologi gadget itu berdampak serius pada hubungan interaksi diantara manusia. Mengutip sebuah kalimat bijak dari seorang Ilmuwan besar dunia, Albert Einstein, "Aku takut suatu hari teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi idiot."
Bagaimana mungkin sebuah ponsel yang justru menjadi pendekat hubungan manusia itu dikatakan merusak interaksi? Coba perhatikan di sekeliling kita. Berapa banyak orang yang cenderung besikap apatis terhadap sekitarnya. Berapa banyak orang yang terlihat punya dunianya sendiri; tenggelam bersama ponsel di tangannya. Dan yang lebih memprihatinkan, fenomena ini pun mulai merambah ke dalam lingkungan terpenting, keluarga.
Jauh sebelum teknologi ponsel berkembang seperti saat ini, kehangatan dan keakraban keluarga masih dapat dirasakan. Namun seiring perkembangannya, ternyata sebuah ponsel justru menjadi pemicu mulai memudarnya hubungan keakraban di dalam sebuah keluarga. Jika dulu mungkin kita masih bisa merasakan gelak tawa, canda, dan keakraban yang indah saat di meja makan. Tetapi kini semua itu telah tersingkirkan dengan hadirnya sebuah benda bernama ponsel smartphone. Ya, setiap orang telah berubah. Mereka seperti tidak lagi saling membutuhkan. Karena apa? Karena semua hal telah tergantikan dengan adanya ponsel di tangan.
Sejatinya, eksistensi manusia itu tak bisa digantikan dengan apapun. Tetapi kenyataannya, kepemilikan ponsel bagi setiap anggota keluarga telah menyingkirkan keberadaan manusia. Ada tapi seperti tidak ada. Kenal tapi seperti orang asing. Berkumpul tetapi terlihat seperti sendirian. Ya, inilah fenomena yang banyak kita jumpai dalam sebuah keluarga, sejak munculnya teknologi gadget seperti ponsel atau tab. Eksistensi manusia telah direnggut oleh ponsel tanpa paksaan. Semua orang lebih suka membersamai sang ponsel. Tertawa bersama ponsel. Bahkan waktu sehari yang 24 jam itu kebanyakan dihabiskan dengan ponsel.
Tanpa kita sadari, keadaan ini akan menjauhkan rasa empati dan hubungan kita dalam keluarga. Karena secara tidak langsung, kecanduan kita terhadap gadget akan menjadikan kita sebagai sosok individualis. Selain itu ketidakbijaksanaan kita (orangtua) dalam penggunaan gadget akan mengganggu mental anak-anak. Sebagaimana sebuah berita yang sempat viral di media sosial, dimana seorang anak curhat tentang kesedihannya karena merasa diabaikan oleh orangtua yang sibuk bergadget ria. Hal ini sebagaimana yang dilansir diberita caramudah.id edisi 9 Januari 2017.
Sebuah penelitian yang dilakukan AVG Technologies terhadap 6.000 anak usia 8-13 tahun di Brazil, Australia, Kanada, Prancis, Inggris, Ceko, dan Amerika, ditemukan fakta bahwa sekitar 32% anak merasa tidak penting ketika ibu atau ayahnya sibuk mengurusi smartphonenya. (Sumber: liputan6.com edisi 14 Juli 2015)
Keluarga adalah bagian terpenting dalam hidup kita. Saat susah atau senang, sedih atau bahagia, hanya keluarga lah yang akan selalu siap sedia merangkul dan membuat kita nyaman. Maka sudah seharusnya kita jaga keharmonisan itu. Jangan sampai peran dan fungsi keluarga tergantikan oleh sebuah benda mati. Bijaklah memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada.
Bagaimana mungkin sebuah ponsel yang justru menjadi pendekat hubungan manusia itu dikatakan merusak interaksi? Coba perhatikan di sekeliling kita. Berapa banyak orang yang cenderung besikap apatis terhadap sekitarnya. Berapa banyak orang yang terlihat punya dunianya sendiri; tenggelam bersama ponsel di tangannya. Dan yang lebih memprihatinkan, fenomena ini pun mulai merambah ke dalam lingkungan terpenting, keluarga.
Jauh sebelum teknologi ponsel berkembang seperti saat ini, kehangatan dan keakraban keluarga masih dapat dirasakan. Namun seiring perkembangannya, ternyata sebuah ponsel justru menjadi pemicu mulai memudarnya hubungan keakraban di dalam sebuah keluarga. Jika dulu mungkin kita masih bisa merasakan gelak tawa, canda, dan keakraban yang indah saat di meja makan. Tetapi kini semua itu telah tersingkirkan dengan hadirnya sebuah benda bernama ponsel smartphone. Ya, setiap orang telah berubah. Mereka seperti tidak lagi saling membutuhkan. Karena apa? Karena semua hal telah tergantikan dengan adanya ponsel di tangan.
Sejatinya, eksistensi manusia itu tak bisa digantikan dengan apapun. Tetapi kenyataannya, kepemilikan ponsel bagi setiap anggota keluarga telah menyingkirkan keberadaan manusia. Ada tapi seperti tidak ada. Kenal tapi seperti orang asing. Berkumpul tetapi terlihat seperti sendirian. Ya, inilah fenomena yang banyak kita jumpai dalam sebuah keluarga, sejak munculnya teknologi gadget seperti ponsel atau tab. Eksistensi manusia telah direnggut oleh ponsel tanpa paksaan. Semua orang lebih suka membersamai sang ponsel. Tertawa bersama ponsel. Bahkan waktu sehari yang 24 jam itu kebanyakan dihabiskan dengan ponsel.
Tanpa kita sadari, keadaan ini akan menjauhkan rasa empati dan hubungan kita dalam keluarga. Karena secara tidak langsung, kecanduan kita terhadap gadget akan menjadikan kita sebagai sosok individualis. Selain itu ketidakbijaksanaan kita (orangtua) dalam penggunaan gadget akan mengganggu mental anak-anak. Sebagaimana sebuah berita yang sempat viral di media sosial, dimana seorang anak curhat tentang kesedihannya karena merasa diabaikan oleh orangtua yang sibuk bergadget ria. Hal ini sebagaimana yang dilansir diberita caramudah.id edisi 9 Januari 2017.
Sebuah penelitian yang dilakukan AVG Technologies terhadap 6.000 anak usia 8-13 tahun di Brazil, Australia, Kanada, Prancis, Inggris, Ceko, dan Amerika, ditemukan fakta bahwa sekitar 32% anak merasa tidak penting ketika ibu atau ayahnya sibuk mengurusi smartphonenya. (Sumber: liputan6.com edisi 14 Juli 2015)
Keluarga adalah bagian terpenting dalam hidup kita. Saat susah atau senang, sedih atau bahagia, hanya keluarga lah yang akan selalu siap sedia merangkul dan membuat kita nyaman. Maka sudah seharusnya kita jaga keharmonisan itu. Jangan sampai peran dan fungsi keluarga tergantikan oleh sebuah benda mati. Bijaklah memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada.
sedih, tapi emang gitu kenyataannya..
BalasHapusYa bang Ian. Kangen suasana dulu sebelum ada si benda gepeng ini. Tapi ya semua tergantung dari bagaimana kita menyikapi perubahan dan kemajuan teknologi dengan bijak.
BalasHapusSaya dan suami sedang berusaha mengurangi pegang gadget di depan anak. At least ada waktu jam 6-8 malam tanpa gadget. Jd fokus membersamai anak. Sringnya gitu deh, gadget bikin yg jauh jadi dekat tp yg dekat jadi jauu hehe
BalasHapusWah keren programnya mbak Heni. Patut dicontoh ini
Hapus