Ilustrasi@ndh |
Judul Asli: Siamang Putih (Folklore Sumatra Barat)
“Aku tidak pernah bersumpah seumur hidupku baik dalam keadaan benar maupun salah.” (Imam Syafi’i)
Sumpah itu mengikat hingga jiwa meninggalkan raga.
Ratapan dan kepiluan Julian malam itu seakan memberi isyarat pada semesta, akan kegelisahan yang telah membelit hidupnya sejak beberapa tahun belakangan ini. Suaranya yang biasa terdengar menghiasi rumah paling besar dan mewah di kota itu, kini seakan begitu kesulitan mengeluarkan iramanya.
“Aku ingin mati saja. Matikan aku saja. Matikan aku saja. Matikan aku!” Suara itu terdengar kian berat diiringi isakan sang pemiliknya.
Seisi rumah yang saat itu tengah terlelap dan sedang hanyut dalam buaian mimpi, lamgsung terjaga saat telinga menangkap gelombang suara ratapan Julian. Suara pintu-pintu kamar di lantai dua rumah itu terdengar terbuka hampir bersamaan. Semua penghuni berhamburan keluar menuju sumber suara. Namun langkah-langkah kaki mereka seketika terhenti di depan pintu biru berlukiskan bintang-bintang yang tampak berkelap kelip. Pintunya terkunci. Ayah, Ibu, dan dua orang adik perempuan Julian berteriak-teriak menyerukan namanya. Sayang, terikan itu sia-sia. Tak ada sedikitpun tanda bahwa pintu akan dibuka.
“Ayah, sebaiknya kita dobrak saja pintunya. Ibu cemas sekali dengan keadaan julian di dalam.” WaNita dengan suara lembut itu berusaha membujuk sang suami sambil memegangi tangannya.
“Serius nih, Bu? Ini kan pintu kesayangannya Juklian,” tanya sang suami.
“Ya Allah, Ayah? Ini darurat,” jawab istrinya dengan wajah protes.
“Baiklah, semua bantu Ayah ya. Satu...dua...tii...ga.” pintu pun terbuka.
Di dalam kamar yang bercahaya redup itu, tampak Julian sedang meringkuk di pojok dekat tempat tidurnya. Tangisnya terdengar sesenggukan. Membuat semakin pilu hati siapapun yang berada di dalamnya. Sang Ibu yang takkan pernah bisa melihat kesedihan, langsung berurai air mata dan berlari memeluk sang putri. Tak seorang pun mampu mengeluarkan sepatah kata pun saat itu. semua turut tenggelam dalam duka yang dialami Julian. Sepertinya mereka pun sangat paham dengan apa yang dirasakan gadis itu.
“Julian dengar, Ayah tahu betul dengan kerisauan hatimu. Tapi janganlah sampai begini, Nak.” Suara lelaki yang selalu menjadi tempat curhat Julian itu memecahkan kebungkaman.
“Tidak ada yang mau menikah denganku. Juli sudah tidak sanggup lagi rasanya berdiri di atas penantian ini.” Julian mengangkat kepala yang sejak tadi bersembunyi di pangkuan kedua lututnya.
Sang Ayah kemudian mendekat dan ikut duduk di samping kanan Julian. Diusapnya dengan lembut kepala sang putri agar bisa menenangkan hatinya yang sedang tak karuan.
“Sayang, tak perlu risau dan takut. Ingatlah janji Allah, bahwa Dia telah menetapkan jodoh untuk setiap hamba-Nya. Cobalah pahami lagi apa yang telah Allah katakan dalam surat An-Nahl: 72 dan An-Naba: 8.” Nasihat-nasihat seperti inilah yang selalau membuat hati Julian yang panas dan gersang, seakan tersirami dengan limpahan air yang menyejukkan.
Dua hari kemudian
Sang Ayah sebenarnya juga risau dengan nasib putrinya. Namun hal itu begitu cerdik disembunyikannya. Ya, dia memang seorang pemimpin yang nyaris sempurna dalam mengendalikan emosi dan perasaanya. Tak ingin berlarut-larut melihat kesedihan Julian, ia pun akhirnya membuat sebuah rencana untuk mengadakan open house, dan mempersilahkan siapapun untuk datang serta menikmati hidangan dengan sepuasnya. Dalam rencana itu terselip sebuah harapan bahwa ada salah seorang tamu yang berani dan ingin menjadikan putrinya sebagai pendamping hidup.
Sebenarnya, bukan tak ada yang mau menikahi Julian. Siapapun pasti akan tertarik dengannya karena ia dianugerahi dengan wajah yang sangat menyenangkan pandangan mata, tutur bahasanya santun serta jiwa sosialnya sangat tinggi. Namun tak seorangpun berani mendekati apalagi meminang gadis itu. Penyebabnya tak lain adalah karena status sosial keluarga Julian yang sangat terhormat.
Acara open house telah usai. ayah Julian terlihat agak kecewa karena tak ada seorang lelaki pun yang mendatanginya. Namun pagi itu sang putri menghampirinya dan menceritakan perihal mimpi yang ia alami semalam. Julian bermimpi bahwa ia dilamar oleh seorang pria bernama Sutan Rumandang. Mendengar hal ini, sang Ayah langsung memerintahkan seluruh anak buahnya, untuk mencari pemuda yang bernama Sutan Rumandang ke seluruh penjuru kota itu. Tetapi pencarian tak menemukan titik terang sedikitpun.
Di tengah kegelisahan, tiba-tiba saja ada seorang bernama Sutan rumandang datang melamar pekerjaan ke kantornya. Seorang pemuda yang langsung menarik hatinya. Tanpa pikir panjang, ayah Julian langsung menerima dan memintanya untuk datang ke rumahnya guna membicarakan hal yamg lebih serius. Sore harinya, sang pemuda datang ke rumah pak Januardi (ayah Julian). Sebelumnya sang ayah telah memberitahu seisi rumah bahwa akan ada tamu istimewa yang datang. Semua telah bersiap menyambut kedatangan Sutan rumandang.
Tamu yang dinantikan itu akhirnya tiba. Sang tuan rumah menyambut dengan sangat antusias. Diperkenalkannya seluruh penghuni rumah pada Sutan Rumandang. Dan setelah bercakap-cakap ringan sambil menikmati aneka jamuan, pak Januardi langsung mengutarakan maksud undangannya itu, bahwa ia ingin menjodohkan Sutan Rumandang dengan putrinya, Julian. Rupanya pemuda itu juga tertarik saat melihat Julian. Ia pun menyetujui perjodohan itu, dengan syarat mereka mengizinkannya mengumpulkan uang yang banyak agar layak saat meminang Julian.
“Yang kubutuhkan bukan hartamu tapi cintamu.” Julian berusaha meyakinkan Sutan.
“Aku ingin meminangmu dengan layak dan tidak ingin mempermalukan keluargamu.” Sutan terus memaksa hingga Julian menyetujuinya.
Untuk saling meyakinkan, keduanya mengucap sumpah untuk menjaga hati masing-masing dan setia menunggu. Mereka saling bersumpah akan mengalami hal paling buruk jika sampai melanggar. Akhirnya Sutan pun memulai perjalanannya untuk mencari uang sebanyaknya. Hari demi hari berlalu tanpa kabar, hingga mencapai bulanan yang rasanya membuat jenuh dalam penantian.
Di tengah penantian, muncul seorang pemuda datang bertamu ke rumah Julian. Ternyata ia adalah teman saat Julian kuliah dulu bernama Salim. Ia memang sudah lama menaruh hati pada gadis itu, namun niatnya untuk menyatakan perasaan tak pernah terwujud karena malu dengan perbedaan status sosial mereka. Namun kini, saat ia telah sukses, ia pun memberanikan diri melamar Julian. Ketidakpastian dan tak adanya kabar dari Sutan membuat Julian langsung menerima pinangan Salim.
Di hari pernikahan, saat ijab qabul, hal aneh terjadi saat penghulu akanmenikahkan keduanya. Tiba-tiba Julian bertingkah seperti seekor kera, dan ia pun kehilangan suaranya. Pernikahan pun gagal. Ia pun hanya bisa menangis sepanjang hari. Sadar bahwa ia telah melanggar sumpahnya. Setiap hari yang ia lakukan adalah duduk di teras rumah menunggu kedatangan Sutan. Sayangnya, Sutan memang tidak akan pernah datang karena ia pun telah mengalami kecelakaan parah hingga meninggal, saat akan berangkat melamar seorang wanita yang menjadi rekan kerjanya.
#Re-tellFolklore
Posting Komentar