Wabah
ponsel canggih berbalut fitur-fitur menarik dan mengagumkan telah berhasil
memalingkan perhatian banyak orang akan sekitarnya. Kini banyak orang yang
cenderung sibuk dan serius bercengkerama dengan gadget miliknya. Tak lagi peka
akan kondisi di sekitarnya bahkan di tengah-tengah keramaian sekalipun. Cenderung
bersikap apatis karena terlalu fokus dan asik dengan ponselnya. Kondisi seperti
ini dianggap sebagian orang sebagai sikap anti sosial dan seperti hidup di
dunianya sendiri. Akhirnya tercetuslah ungkapan “autis” yang dilabelkan pada
orang-orang semacam ini. Mereka dengan mudahnya melontarkan kata-kata: dasar
autis, orang autis, atau jangan autis deh, dan kata-kata yang mengandung unsur
serupa.
Istilah
austis atau autisme kerap dijadikan bahan gurauan ataupun ejekan untuk
orang-orang yang terlalu sibuk dan serius dengan aktifitasnya. Mengapa harus
kata “autis? Bukan istilah lainnya seperti: orang aneh atau apatis? Karena autis
sendiri adalah istilah yang mengacu pada sikap tak concern seseorang dengan lingkungan ataupun yang terjadi di
sekitarnya.
Lantas
apa sebenarnya makna kata autis? Menurut Kartono (2000), autisme adalah gejala menutup
diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia luar,
keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
Autis
bukanlah istilah baru dalam masyarakat, namun sampai saat ini masih banyak
orang yang menganggap anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perilaku
dan kejiwaaan. Karena sikap anti sosial, sering tenggelam dan asik dengan dunia
sendiri yang kadang terlihat aneh, kurang responsif serta sering melakukan
suatu kegiatan secara repetitif. Hal inilah yang memunculkan persepsi keliru
pada sebagian masyarakat. Padahal anak autis itu sama dengan anak normal
lainnya. Bahkan ada yang memiliki IQ tinggi. Mereka normal. Hanya saja ada
gangguan di saraf otak yang berakibat pada kinerja dan fungsi otak secara
normal. Gangguan ini kemudian teraplikasi dalam sikap dan perilaku.
Hari
ini, 2 April 2017 adalah hari yang secara internasional diperingati sebagai
hari kepedulian terhadap autisme sedunia. Saya yakin teman-teman sangat paham
tentang autis. Jadi saya tidak akan mengulasnya lebih jauh lagi. Namun pada
momen yang tepat ini saya hanya ingin mengajak teman-teman untuk tidak sembarangan
menggunakan kata autis. Tulisan ini pun terinspirasi dari seorang murid saya
yang menyandang autis serta anggapan beberapa rekan pengajar yang men-judge
bahwa ia anak aneh yang mereka juluki “freak boy”. Padahal ia seorang yang
cerdas dan memang perilakunya sedikit berbeda dengan murid yang lainnya. Ia hanya
mau berkomunikasi dengan saya dan akan marah dengan emosi berlebihan jika ada
yang membuatnya tidak nyaman.
Teman-teman,
tanpa kita sadari, julukan autis yang sering kita arahkan pada orang-orang yang
kita anggap aneh, telah melukai perasaan mereka yang keluarganya menyandang
autis. Kita tidak pernah tahu bagaimana perjuangan mereka agar anggota keluarga
yang autis itu bisa menjadi normal. Kita tidak pernah tahu lelahnya mereka
merawat anak dengan kondisi seperti itu. Sedihnya mereka. Coba bayangkan. Posisikan
diri kita sebagai mereka. Bagaimana perasaan kita saat di luar sana orang-orang
memasukkan kata “autis” dalam percakapan yang bemuatan ejekan? Stop
teman-teman. Hal itu akan sangat menyakitkan. Itu adalah pendzoliman secara
verbal.
Nabi
kita yang mulia, Muhammmad SAW bersabda, “Ucapkanlah perkataan yang baik atau
diamlah.” Jadi jika perkataan itu akan menyinggung dan menyakiti orang lain,
maka lebih baik tidak kita ucapkan. Ingatlah apa yang dikatakan Rasulullah SAW
, “Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya merasa selamat dari gangguan
lisan dan tangannya.” Jadi kita memang harus menjaga lisan dan memfilter segala
ucapan yang hendak kita lontarkan agar orang lain tidak tesakiti dan bersedih
hati.
Sekali
lagi teman-teman, pada hari kesadaran dan kepedulian autisme sedunia ini, marilah
kita bersama menggaungkan rasa peduli dan empati terhadap penyandang autis. Autismn is not the object of joking. It’s
not funny and right. Dan bagi
keluarga yang anggota keluarganya menyandang autis, kami sadar itu tidak mudah
untuk terus berjuang merawat, mengasuh dan mendidik seorang autis. Kami tahu
pasti sangat melelahkan, mungkin juga ada rasa sedih, kesal, serta putus asa. Tapi
percayalah Allah yang maha pengasih dan penyayang tidak akan mengabaikan
perjuangan itu. Tetaplah semangat. Yakinlah kelak sang autis akan menjadi
sesuatu yang membanggakan.
“World Autism Awareness Day”, we
care, we respect, and we are with you.
#OneDayOnePost
#HariAutisInternasionsal
Bandar
lampung, 2 April 2017
This is sooo subhanalLlah Kak!!
BalasHapusMemfilter segala ucapan...masya Allah. Jazakillah for reminding Kak
Wajazaakillahu khoir mbak Hikmah. Semoga bermanfaat ya mbak
BalasHapus