Hidup di era modernisasi itu selalu penuh dengan hal-hal yang mengejutkan dan membuat kita brdecak kagum. Serangkaian kata-kata seperti: wow, amazing, keren, hebat dan sejenisnya kerap menggema dalam kehidupan masyarakat modern, sebagai reaksi atas suatu penemuan atau tekhnologi yang baru diluncurkan ke khalayak ramai. Hidup semakin menjadi mudah dan banyak orang yang merasa terbantu dengan terobosan-terobosan baru yang hampir setiap hari ditemukan.
Sayangnya, kemajuan tekhnologi turut disertai dengan berbagai fenomena negatif, dari mereka yang kurang bijak memanfaatkan fasilitas yang ada. Kemajuan tekhnologi telah menyumbang efek negatif bagi generasi-generasi labil yang kurang pengawasan, yaitu anak-anak. Sudah beberapa kali masyarakat dikejutkan dengan berita-berita terkait pergaulan anak dibawah umur. Berbagai isu tentang penyimpangan dan serba-serbi dunia mereka yang berhasil membuat kita terhenyak kaget dan lemas mendengarnya.
Masih ingatkah dengan postingan seorang anak dibawah umur, yang mengupload foto-foto tak sopannya bersama sang kekasih di tempat tidur? Belum lagi status para ABG atau bahkan anak-anak usia SD yang isinya penuh percintaan, keluh kesah ditinggal pacar, curhat percintaan, dan kata-kata romantis yang kesemuanya itu belumlah pantas bagi mereka. Seharusmya anak seusia mereka disibukkan dengan kesibukan mengukir prestasi. Bukannya sibuk dengan urusan percintaan.
Saya pribadi beberapa kali mendapati murid-murid saya (usia SD dan SMP), berkelakuan layaknya orang dewasa. Mulai dari pacaran, saling kirim kata-kata mesra, dan bahkan ada yang lebih parah dari itu, menikmati tayangan adegan dewasa melalui ponsel mereka. Astaghfirullah, benar-benar speechless dan lemas dibuatnya saat itu.
Pernah juga saya temukan curahan kesedihan salah satu murid perempuan di bukunya. Saat membuka buku yang akan dikoreksi, tanpa sengaja terbukalah halaman tengah berisi curahan itu. Dalam tulisan itu tertuang pernyataan sedih dan putus asa sang perempuan karena diputus oleh sang pacar. Bahkan ia menyatakan ingin bunuh diri. Astaghfirullah.
Memang sungguh ironi melihat fenomena ini. Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Siapa yang harus disalahkan? Kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa itu salah si anak. Karena bisa jadi justru itu karena kesalahan kita para orang dewasa, yang kurang memberikan perhatian dan pengawasan terhadap mereka.
Anak-anak sangat rentan terpengaruh, apalagi diusia beranjak dewasa. Pengawasan yang ketat sangat diperlukan agar mereka tidak terjerumus ke dalam arus pergaulan bebas. Bila perlu batasi pergaulan mereka.
Dan satu hal lagi, janganlah terlalu memanjakan mereka dengan perangkat seluler canggih yang mereka sendiri belum bisa bijak memanfaatkannya. Cukuplah ponsel yang bisa mereka gunakan untuk berkomunikasi. Jika alasanya agar tidak ketinggalan informasi dan menggali informasi penunjang pendidikannya, maka lebih baik penuhi fasilitas itu di rumah melalui internet keluarga yang penggunaannya lebih mudah diawasi. Dan tentunya orangtua juga perlu membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan agar bisa menjadi sumber jawaban yang akurat atas permasalahan dan kesulitan anaknya. Jadi jangan malas. Teruslah belajar dan memperkaya diri dengan ilmu. Hal yang lebih utama lagi adalah menanamkan nilai-nilai agama yang kuat agar keimanan mereka tidak mudah goyah dan terpengaruh lingkungan negatif dan jahat disekitarnya.
Tidak usah jauh-jauh tentang pengaruh negatif disekitar anak-anak. Televisi adalah salah satunya. Tayangan televisi saat ini adalah salah satu pemicu dekadensi moral anak-anak. Bagaimana tidak? Kebanyakan tayangan acara yang disuguhkan televisi tidak pantas dikonsumsi anak-anak. Semua tayangan itu seperti racun yang perlahan-lahan mempengaruhi sikap dan pola pikir mereka. Terutama sinetron-sinetron yang hanya menampilkan adegan kekerasan, percintaan (kebanyakan temanya tentang kehidupan anak-anak sekolah), yang sayangnya lebih menonjolkan percintaan dibanding kegiatan pendidikan. Bukankah seharusnya lingkungan sekolah itu penuh dengan aktifitas mengukir prestasi, mengejar mimpi dan menjadi manusia lebih baik? Bukan wadah untuk memgejar lawan jenis, berkelahi, membuat onar, atau melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Jika tontonan yang disuguhkan seperti ini, sudah pasti anak-anak yang rentan dan kurang pengawasan akan mudah terpengaruh dan mengikuti gaya hidup yang dicontohkan aktor-aktor di televisi itu.
Selain itu, kecenderungan orangtua yang dengan mudahnya memfasilitasi anak dengan ponsel canggih atau keluaran terbaru juga merupakan penyebab rusaknya perilaku mereka. Bagaimana tidak? Dengan bermodal ponsel itu sudah cukup membantu mereka melakukan berbagai penyimpangan. Mereka bisa dengan mudah menjelajah area-area terlarang, misalnya masuk ke situs-situs porno atau berkonten negatif, berkenalan dengan orang asing yang ternyata penipu dan penghancur masa depan. Seperti kasus-kasus yang sudah sering terjadi dan menimpa anak-anak dibawah umur belakangan ini akibat berkenalan di dunia maya. Naudzubillah. Lagi-lagi saya speechless dengan semua berita itu.
Anak-anak adalah amanah Allah. Titipan yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai membiarkan mereka menjadi insan penuh khilaf berkepanjangan dan berkarakter buruk. Apa yang akan kita katakan kelak saat sang pemilik menanyakan tentang amanah itu? Jaga, bimbing, awasi, dan terus dampingi mereka kapanpun. Terutama dimasa-masa peralihan mereka. Ingat, waktu tidak akan pernah terulang. Jangan sampai kita menyesal dan kesulitan saat ingin menarik mereka kembali dari lingkaran buruk pergaulannya.
#OneDayOnePost
Bandar Lampung, 29 Maret 2017
Saya pribadi beberapa kali mendapati murid-murid saya (usia SD dan SMP), berkelakuan layaknya orang dewasa. Mulai dari pacaran, saling kirim kata-kata mesra, dan bahkan ada yang lebih parah dari itu, menikmati tayangan adegan dewasa melalui ponsel mereka. Astaghfirullah, benar-benar speechless dan lemas dibuatnya saat itu.
Pernah juga saya temukan curahan kesedihan salah satu murid perempuan di bukunya. Saat membuka buku yang akan dikoreksi, tanpa sengaja terbukalah halaman tengah berisi curahan itu. Dalam tulisan itu tertuang pernyataan sedih dan putus asa sang perempuan karena diputus oleh sang pacar. Bahkan ia menyatakan ingin bunuh diri. Astaghfirullah.
Memang sungguh ironi melihat fenomena ini. Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Siapa yang harus disalahkan? Kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa itu salah si anak. Karena bisa jadi justru itu karena kesalahan kita para orang dewasa, yang kurang memberikan perhatian dan pengawasan terhadap mereka.
Anak-anak sangat rentan terpengaruh, apalagi diusia beranjak dewasa. Pengawasan yang ketat sangat diperlukan agar mereka tidak terjerumus ke dalam arus pergaulan bebas. Bila perlu batasi pergaulan mereka.
Dan satu hal lagi, janganlah terlalu memanjakan mereka dengan perangkat seluler canggih yang mereka sendiri belum bisa bijak memanfaatkannya. Cukuplah ponsel yang bisa mereka gunakan untuk berkomunikasi. Jika alasanya agar tidak ketinggalan informasi dan menggali informasi penunjang pendidikannya, maka lebih baik penuhi fasilitas itu di rumah melalui internet keluarga yang penggunaannya lebih mudah diawasi. Dan tentunya orangtua juga perlu membekali dirinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan agar bisa menjadi sumber jawaban yang akurat atas permasalahan dan kesulitan anaknya. Jadi jangan malas. Teruslah belajar dan memperkaya diri dengan ilmu. Hal yang lebih utama lagi adalah menanamkan nilai-nilai agama yang kuat agar keimanan mereka tidak mudah goyah dan terpengaruh lingkungan negatif dan jahat disekitarnya.
Tidak usah jauh-jauh tentang pengaruh negatif disekitar anak-anak. Televisi adalah salah satunya. Tayangan televisi saat ini adalah salah satu pemicu dekadensi moral anak-anak. Bagaimana tidak? Kebanyakan tayangan acara yang disuguhkan televisi tidak pantas dikonsumsi anak-anak. Semua tayangan itu seperti racun yang perlahan-lahan mempengaruhi sikap dan pola pikir mereka. Terutama sinetron-sinetron yang hanya menampilkan adegan kekerasan, percintaan (kebanyakan temanya tentang kehidupan anak-anak sekolah), yang sayangnya lebih menonjolkan percintaan dibanding kegiatan pendidikan. Bukankah seharusnya lingkungan sekolah itu penuh dengan aktifitas mengukir prestasi, mengejar mimpi dan menjadi manusia lebih baik? Bukan wadah untuk memgejar lawan jenis, berkelahi, membuat onar, atau melakukan tindakan-tindakan negatif lainnya. Jika tontonan yang disuguhkan seperti ini, sudah pasti anak-anak yang rentan dan kurang pengawasan akan mudah terpengaruh dan mengikuti gaya hidup yang dicontohkan aktor-aktor di televisi itu.
Selain itu, kecenderungan orangtua yang dengan mudahnya memfasilitasi anak dengan ponsel canggih atau keluaran terbaru juga merupakan penyebab rusaknya perilaku mereka. Bagaimana tidak? Dengan bermodal ponsel itu sudah cukup membantu mereka melakukan berbagai penyimpangan. Mereka bisa dengan mudah menjelajah area-area terlarang, misalnya masuk ke situs-situs porno atau berkonten negatif, berkenalan dengan orang asing yang ternyata penipu dan penghancur masa depan. Seperti kasus-kasus yang sudah sering terjadi dan menimpa anak-anak dibawah umur belakangan ini akibat berkenalan di dunia maya. Naudzubillah. Lagi-lagi saya speechless dengan semua berita itu.
Anak-anak adalah amanah Allah. Titipan yang harus kita jaga dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai membiarkan mereka menjadi insan penuh khilaf berkepanjangan dan berkarakter buruk. Apa yang akan kita katakan kelak saat sang pemilik menanyakan tentang amanah itu? Jaga, bimbing, awasi, dan terus dampingi mereka kapanpun. Terutama dimasa-masa peralihan mereka. Ingat, waktu tidak akan pernah terulang. Jangan sampai kita menyesal dan kesulitan saat ingin menarik mereka kembali dari lingkaran buruk pergaulannya.
#OneDayOnePost
Bandar Lampung, 29 Maret 2017
Keren dan bermanfaat nih bahasannya
BalasHapusTerimakasih Mb Rika
Alhamdulillah kl bermanfaat. Nuhun nya mbak wid sdh mampir di blogku.
BalasHapus